Elaborasi Tentang Kedua Target Strategi Indonesia 2040

Ukuran Kesejahteraan 6,85 USD Per Kapita Per Hari Sebagai Target Pembangunan: Kekurangan, Kelebihan dan Rencana Pengembangannya

Bank Dunia telah menetapkan USD 6,85 per kapita per hari sebagai ambang batas kemiskinan untuk negara-negara berpenghasilan tinggi atau sudah sejahtera. Angka ini merepresentasikan pendapatan minimum yang dianggap cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan.

 

Latar Belakang Ukuran Kesejahteraan 6,85 USD dan Ukuran Lainnya

Penggunaan ukuran moneter seperti ini memiliki landasan historis yang kuat. Pada tahun 1990, Bank Dunia memperkenalkan garis kemiskinan ekstrem sebesar USD 1 per hari (paritas daya beli 1985). Seiring dengan perkembangan ekonomi global dan perubahan tingkat harga, garis kemiskinan ini direvisi menjadi USD 1,90 per hari pada tahun 2015. Selain itu, terdapat dua garis kemiskinan lainnya yang ditetapkan oleh Bank Dunia pada tahun 2023: USD 3,65 per hari, yang mewakili ambang batas kemiskinan moderat, dan USD 6,85 per hari, yang mewakili ambang batas untuk negara-negara berpenghasilan menengah ke atas. Garis kemiskinan USD 6,85 per hari yang ditetapkan oleh Bank Dunia pada tahun 2023 mewakili pendapatan. Ini berarti seseorang dianggap berada di atas garis kemiskinan relatif di negara berpenghasilan menengah ke atas jika pendapatan mereka melebihi USD 6,85 per hari (berdasarkan paritas daya beli). Di atas garis kemiskinan moderat adalah mereka yang dianggap mampu dalam memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan. Inilah yang kami jadikan sebagai batas bagi sejahtera. Ukuran ini tentu bisa diperdebatkan namun dalam pandangan ilmu manajemen strategi, sebuah strategi pada akhirnya akan mendefinisikan sebuah ukuran yang disebut sebagai Objective Key Result (OKR) dengan berbagai pertimbangan bahwa ukuran moneter ini memiliki beberapa kelebihan. Pertama, ukuran ini memberikan standar yang konsisten dan terukur untuk membandingkan tingkat kemiskinan antar negara dan antar waktu. Kedua, ukuran ini relatif mudah untuk dipahami dan dikomunikasikan kepada publik. Ketiga, ukuran ini dapat digunakan sebagai dasar untuk merumuskan kebijakan dan program pengentasan kemiskinan.

 

Kelemahan Ukuran USD 6,85 Per Kapita Per Hari

 

Namun, penggunaan ukuran USD 6,85 per kapita per hari juga memiliki sejumlah kelemahan. Pertama, ukuran ini tidak memperhitungkan perbedaan biaya hidup antar wilayah. Biaya hidup di perkotaan cenderung lebih tinggi daripada di pedesaan, sehingga ukuran ini mungkin tidak akurat dalam mencerminkan tingkat kesejahteraan di daerah-daerah tertentu. Kedua, ukuran ini hanya berfokus pada aspek moneter dari kemiskinan dan mengabaikan dimensi-dimensi lain seperti kesehatan, pendidikan, dan akses terhadap layanan dasar. Ketiga, ukuran ini tidak memperhitungkan ketimpangan pendapatan di dalam suatu negara. Meskipun rata-rata pendapatan per kapita mungkin telah mencapai USD 6,85 per hari, masih ada kemungkinan proporsinya lebih banyak berada di bawahnya.

 

 Kelebihan Ukuran USD 6,85 Per Kapita Per Hari Dibandingkan Ketiadaan Ukuran

 

Meskipun memiliki kekurangan, penggunaan ukuran USD 6,85 per kapita per hari sebagai target pembangunan memiliki kelebihan dibandingkan dengan ketiadaan ukuran sama sekali. Pertama, ukuran ini memberikan dasar yang jelas untuk mengukur kemajuan dalam pengentasan kemiskinan. Tanpa ukuran yang jelas, sulit untuk menilai apakah kebijakan dan program yang diterapkan telah berhasil. Kedua, ukuran ini dapat memotivasi pemerintah dan masyarakat untuk bekerja sama dalam mencapai target pembangunan. Ketiga, ukuran ini dapat meningkatkan akuntabilitas pemerintah dalam mengelola sumber daya publik untuk kepentingan rakyat.

 

Rencana Pengembangan Ukuran Kesejahteraan

 

Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan yang ada, ukuran kesejahteraan USD 6,85 per kapita per hari perlu terus dikembangkan. Beberapa langkah yang dapat dilakukan antara lain:

  1. Menggunakan Indikator Multidimensi: Selain pendapatan, indikator lain seperti kesehatan, pendidikan, dan akses terhadap layanan dasar perlu dimasukkan dalam pengukuran kesejahteraan. Hal ini akan memberikan gambaran yang lebih komprehensif tentang kualitas hidup masyarakat. Indikator ini akan dipergunakan ketika menilai pelaksanaan inisiatif strategis di bawahnya (Key Performance Indicators atau KPIs)
  2. Menyesuaikan Ukuran dengan Konteks Lokal: Ukuran kesejahteraan perlu disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi masing-masing wilayah. Hal ini dapat dilakukan dengan mempertimbangkan perbedaan biaya hidup, tingkat inflasi, dan akses terhadap barang dan jasa di setiap daerah.
  3. Melibatkan Partisipasi Publik: Masyarakat perlu dilibatkan dalam proses penyusunan dan evaluasi ukuran kesejahteraan. Hal ini akan memastikan bahwa ukuran yang digunakan relevan dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
  4. Pemantauan dan Evaluasi Berkala: Ukuran kesejahteraan perlu dievaluasi secara berkala untuk memastikan bahwa ukuran tersebut tetap relevan dan efektif. Hasil evaluasi dapat digunakan untuk melakukan perbaikan dan penyempurnaan ukuran kesejahteraan di masa depan.

Dengan melakukan langkah-langkah ini, Indonesia dapat mengembangkan ukuran kesejahteraan yang lebih komprehensif, akurat, dan relevan dengan kondisi masyarakat. Ukuran kesejahteraan yang lebih baik akan menjadi landasan yang lebih kuat untuk merumuskan kebijakan dan program pembangunan yang efektif dan berkelanjutan.

 

  1. Mengapa Memilih HDI Sebagai Target Pembangunan Manusia Indonesia ?

Pembangunan manusia merupakan aspek krusial dalam kemajuan suatu negara. Indonesia, sebagai negara berkembang, terus berupaya meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Dalam konteks ini, pemilihan indikator yang tepat untuk mengukur dan mengarahkan pembangunan manusia menjadi sangat penting. Dua indikator yang sering digunakan dalam diskursus global adalah Human Capital Index (HCI) yang dikembangkan oleh Bank Dunia dan Human Development Index (HDI) yang digunakan oleh United Nations Development Programme (UNDP). Artikel ini bertujuan untuk menganalisis kesesuaian HCI dan HDI sebagai target pembangunan manusia di Indonesia, dengan mempertimbangkan karakteristik, kelebihan, dan keterbatasan masing-masing indeks.

HCI fokus pada pengukuran potensi produktivitas generasi mendatang berdasarkan kondisi kesehatan dan pendidikan saat ini. Komponen utama HCI meliputi survival (tingkat kelangsungan hidup anak hingga usia 5 tahun), schooling (kualitas dan kuantitas pendidikan), dan health (status kesehatan anak, termasuk stunting dan tingkat kelangsungan hidup dewasa). Kelebihan HCI terletak pada fokusnya pada aspek-aspek yang langsung berkaitan dengan produktivitas ekonomi, memberikan gambaran jelas tentang investasi yang diperlukan dalam bidang kesehatan dan pendidikan, serta memungkinkan perbandingan internasional yang lebih spesifik dalam aspek modal manusia. Namun, HCI memiliki keterbatasan karena kurang mempertimbangkan aspek-aspek non-ekonomi dari pembangunan manusia dan fokusnya yang terlalu sempit pada produktivitas dapat mengabaikan dimensi penting lainnya dari kesejahteraan manusia.

Di sisi lain, HDI mengukur pembangunan manusia berdasarkan tiga dimensi utama: kesehatan (diukur melalui angka harapan hidup saat lahir), pendidikan (diukur melalui rata-rata lama sekolah dan harapan lama sekolah), dan standar hidup (diukur melalui Pendapatan Nasional Bruto per kapita). Kelebihan HDI terletak pada kemampuannya memberikan gambaran yang lebih komprehensif tentang pembangunan manusia, mencakup aspek ekonomi dan non-ekonomi dari kesejahteraan manusia, kualitas manusia teritama pada sebelum kelahiran sampai masa kecilnya sangat dipengaruhi sokongan kesejahteraan di sekitarnya . Namun, HDI juga memiliki keterbatasan karena kurang spesifik dalam mengukur kualitas pendidikan dan kesehatan dibandingkan HCI, serta tidak secara langsung mengukur aspek-aspek seperti keterampilan kerja atau produktivitas ekonomi.

Dalam konteks Indonesia, pemilihan antara HCI dan HDI sebagai target pembangunan harus mempertimbangkan beberapa faktor, antara lain multidimensionalitas pembangunan, keseimbangan antara produktivitas dan kesejahteraan, relevansi dengan kebijakan nasional, dan komparabilitas internasional. Indonesia memerlukan indikator yang dapat mencerminkan berbagai aspek pembangunan manusia, termasuk kesejahteraan sosial, ekonomi, dan kultural. Meskipun peningkatan produktivitas penting, pembangunan manusia di Indonesia juga harus memperhatikan aspek-aspek kesejahteraan yang lebih luas. Indikator yang dipilih harus sejalan dengan prioritas pembangunan nasional Indonesia serta memungkinkan Indonesia untuk membandingkan kemajuannya dengan negara-negara lain.

Berdasarkan analisis tersebut, HDI cenderung lebih sesuai sebagai target utama pembangunan manusia Indonesia karena cakupannya yang lebih luas dan selaras dengan konsep pembangunan yang holistik karena kualitas manusia juga dipengaruhi oleh dukungan kesejahteraan sejak sebelum lahir sampai dewasa. Namun, integrasi elemen-elemen HCI ke dalam kerangka HDI dapat memberikan gambaran yang lebih tajam pada beberapa aspek. Memilih antara HCI dan HDI sebagai target pembangunan manusia Indonesia bukanlah tentang menentukan indikator yang lebih baik secara absolut, melainkan tentang menemukan indikator yang paling sesuai dengan konteks dan kebutuhan pembangunan nasional.

HDI, dengan cakupannya yang lebih luas, menawarkan kerangka yang lebih komprehensif untuk mengukur pembangunan manusia di Indonesia. Namun, integrasi elemen-elemen HCI ke dalam pengukuran kinerja dari inisiatif strategis (KPIs) di pada elemen Sumber Daya Insani akan memberikan kesimpulan yang lebih holistik dan relevan. Dengan pendekatan yang integratif dan kontekstual, Indonesia dapat mengembangkan target pembangunan manusia yang lebih efektif dan sesuai dengan kebutuhan nasionalnya.

(RM 10/07/2024)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *